Teya Salat

Online : 1| Hari ini : 1| Total : 746

Hidup dalam pelukan cinta

Seorang teman dengan potensi tinggi, mengeluh berat setelah pindah-pindah kerja di lebih dari lima tempat.
Tadinya, saya fikir ia mencari penghasilan yang lebih tinggi. Setelah mendengarkan dengan penuh empati, rekan ini rupanya mengalami kesulitan dengan lingkungan kerja.
Di semua tempat kerja sebelumnya, dia selalu bertemu dengan orang yang tidak cocok. Di sini tidak cocok dengan atasan, disitu bentrok dengan rekan sejawat, di tempat lain malah diprotes bawahan.
Kalau rekan di atas berhobi pindah-pindah kerja, seorang sahabat saya yang lain punya pengalaman yang lain lagi.
Setelah berganti istri sejumlah tiga kali, dengan berbagai alasanyang berbau tidak cocok, ia kemudian merasa capek dengan kegiatan berganti-ganti pasangan ini.
Seorang pengusaha berhasil punya pengalaman lain lagi. Setiap kali menerima orang baru sebagai pimpinan puncak, ia senantiasa semangat dan penuh optimis.
Seolah-olah orang baru yang datang pasti bisa menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi, begitu orang baru ini berumur kerja lebih dari satu tahun, maka mulailah kelihatan busuk-busuknya.
Dan ia pun mulai capek dengan kegiatan berganti-ganti pimpinanpuncak ini.
Digabung menjadi satu, seluruh cerita ini menunjukkan bahwa kalau motif kita mencari pasangan - entah pasangan hidup maupun pasangan kerja - adalah mencari orang yang cocok di semua bidang, sebaiknya dilupakan saja.
Bercermin dari semua inilah, maka sering kali saya ungkapkanbahwa fundamen paling dasar dari manajemen sumber daya manusia adalah manajemen perbedaan.
Yang mencakup dua hal
mendasar: menerima perbedaan dan mentransformasikan perbedaan sebagai kekayaan. Sayangnya, kendati idenya sederhana, namun implementasinya memerlukan upaya yang tidak kecil. Ini bisa terjadi, karena tidak sedikit darikita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap.
Bisa terbang (baca:hidup dan bekerja) sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain.
Padahal, meminjam apa yang pernah ditulis Luciano de Crescendo, kita semua sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah. Dan hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.
Di perusahaan, hampir tidak pernah saya bertemu pemimpin berhasil tanpa kemampuan bekerja sama dengan orang lain.
Di keluarga, tidak pernah saya temukan keluarga bahagia tanpakesediaan sengaja untuk 'berpelukan' dengan anggota keluarga yang lain.
Di tingkat pemimpin negara, orang sehebat Nelson Mandela dan Kim Dae Jung bahkan mau berpelukan bersama orang yang dulu pernah menyiksanya. Lebih-lebih kalau kegiatan berpelukan ini dilakukan dengan penuh cinta. Ia tidak saja merubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, mentransformasikan kegagalan menjadi keberhasilan, namun juga membuat semuanya tampakindah dan menyenangkan.
Tuhan memang tidak pernah melahirkan manusia yang sempurna. Kita selalu lebih di sini dan kurang di situ. Atau sebaliknya. Kesombongan atau keyakinan berlebihan yang menganggap kita bisa sukses sendiri tanpa bantuan orang lain,hanya akan membuat kita bernasib sama dengan burung yang bersayap sebelah, namun memaksa diri untuk terbang.
Sepintar dan sehebat apapun kita, tetap kita hanya akan memiliki sebelah sayap. Mau belajar, berjuang, berdoa, bermeditasi atau sebesar dan sehebat apapun usaha kita, semuanya akan diakhiri dengan jumlah sayap yang hanya sebelah.
Oleh karena alasan inilah, saya selalu ingat pesan seorang rekanuntuk memulai kehidupan setiap hari dengan pelukan. Entah itu memeluk anak, memeluk istri, memeluk kehidupan, memeluk alam semesta, memeluk Tuhan atau di kantor memulai kerja dengan 'memeluk' orang lain.


HOME || PARTNER || GUESTBOOK

Online Users
Copright © 2011 awenk_yoex
All Rights Reserved